Senin, 27 Mei 2013

AGAMA SHINTO


RESPONDING PAPER
AGAMA SHINTO
Dosen Pembimbing:
Ibu Hj. Siti Nadroh, M.Ag

Intan Marhumah
1110032100050
PA/B/VI

Hari/Tanggal   : 06 Mei 2013
Waktu             : 08.00-09.45 WIB
Ruang              : FUF. 313
Pembicara        : - Ahmad Khoirul Fatihin
                          - Muhammad Rosidin
Moderator       : Sintia Aulia Rahma
Notulen           : Sintia Aulia Rahma
Pembanding    : - Muhammad Ikhsan







A. Sejarah dan Perkembangan Agama Shinto
            Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok. Sedangkan Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang.Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup.Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini[1].
            Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal-usul timbulnya negara dan bangsa Jepang.Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
            Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal im berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi.
            Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo” (jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya. Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.

B. Kepercayaan Agama Shinto
            Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto), daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “Kami”.
            Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya).
            Pengikut-pengikut agama Shinto mempunyai semboyan yang berbunyi “Kami negara – no – mishi” yang artinya : tetap mencari jalan dewa. Kepercayaan kepada “Kami” daripada benda-benda dan seseorang, keluarga, suku, raja-raja sampai kepada “Kami” alam raya menimbulkan kepercayaan kepada dewa-dewa.Orang Jepang (Shinto) mengakui adanya dewa bumi dan dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah Dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi kamakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian.
            Tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu :
1. Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung.
2. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.
3.Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.

C. Kitab Suci Agama Shinto
            Kitab suci yang tertua dalam agama Shinto itu ada dua buah, akan tetapi disusun sepuluh abad setelah meninggalnya Jimmu Tenno sang Kaisar Jepang yang pertama, dan dua buah lagi disusun pada masa belakangan, keempat kitab itu adalah :
1. Kojiki
2. Nihonji
3. Yengishiki
4. Manyoshiu
                        Kitab pertama dan ke dua  itu menguraikan tentang alam kayangan kehidupan para dewa dan dewi sampai kepada Amaterasu Omi Kami (dewa matahari) dan Tsukiyomi (dewa bulan). Diangkat untuk menguasai langit dan putranya Jimmu Tenno diangkat untuk menguasai tanah yang subur (bumi Jepang) lalu disusul dengan sisilah turunan Kaisar Jepang itu beserta riwayat hidup satu persatuanya.
                        Dan kitab 3 dan 4 berisikan tentang kisah-kisah legendaris, nyanyian-nyanyian kepahlawanan, beserta sajak-sajak tentang asal usul kedewaan, asal usul kepulauan Jepang dan kerajaan Jepang.Ragam hal-hal kisah yang berkaitan tentang kehidupan para dewa dan para dewi dalam kayangan dilangit.Catatan peristiwa pada masa-masa terakhir barulah dilanjutkan dengan kisah sejarah.[2]
 
D. Peribadatan Agama Shinto
            Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih.Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae).Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto. Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.[3]

E. Pengaruh Shintoisme terhadap peribadi
            Seorang ahli sejarah Jepang, D.C. Holten menyatakan bahwa orang-orang Jepang dilahirkan dalam ajaran Shinto, kesetiaanya terhadap kepercayaan terhadap kepercayaan dan pengalaman ajaranya adalah menjadi kualifikasi pertama sebagai “ orang Jepang yang baik’. Meskipun ia memeluk agama universal seperti Budhisme atau Kristen, faham lama Shinto tetap merupakan pengaruh vital dan luas, yang secara fundametalisme faham lama tersebut membentuk pula mentalis dan tingkah laku serta memberikan paola dasar yang menjadi wadah dari segala sesuatu yang lain.
            Untuk memperjelas ajaran Shintoisme ini perlu dikemukakan juga ajarannya tentang kesusilaan yang paling terhormat yang biasnya dilakukan para bangsawan atau para ksatria-ksatria Jepang sebagai berikut[4]:
a) Keberanian dianggap sebagai suatu keutamaan yang pokok dan oleh karena itu keberanian sudah di didikan pada anak dalam masa-masa permulaan hidupnya, sikap mereka dalam keberanian dinyatakan dengan semboyan : “ keberanian yang benar untuk hidup, ialah bilamana hal itu benar untuk hidup, dan untu mati bilamana hal itu benar untuk mati”
b) Sifat penakut dikutuk, karena sifat ini dipandang dosa. “ semua dosa besar dan kecil, dapat diampuni dengan melalui cara taubat, kecuali penakut dan pencuri”
c) Loyalitas, yaitu setia, kesetiaan pertama kepada Kaisar, kemudian meluas kepada seluruh anggota keluarga Kaisar, pada masyarakat dan pada generasi yang akan datang.
d) Kesucian dan kebersihan, adalah suatu hal yang sangat penting dalam Shintoisme. Oleh karena itu dalam faham ini terdapat upacara-upaca pensucian. Orang tidak suci adalah berdosa, oleh karena melawan dewa-dewa.

F. Upacara Pemujaan
            Upacara resmi dan bersifat menyeluruh bagi bangsa Jepang di pustakan di kui Ise, yang terletak pada pesisir tenggara Kyoto, bebas ibukota tua itu, bagi pemujaan Amaterasu Omi Kami (dewi matahari). Tepatnya berada dikuil Naiku, kuil tua yang terletak pada bagian dalam dank anon dibangun pada tahun 4 SM, kuil itu sangat terpandang suci bagi pemujaan Dewi Matahari, sedangkan pada bagian luar terdapat kuil Geku bagi pemujaan Dewi Makanan, Dewi Ukemochi.




[1]Prof. H.M. Arifin. M.Fd. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar.Hal. 47
[2]Joesoef Sou’yb. Agama-agama besar di dunia.Hal. 212
[3]Huston Smith, Agama-agama manusia, Yayasan Obor Indonesia
[4]Prof. H.M. Arifin. M.Fd. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar.Hal. 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar