RESPONDING
PAPER
AGAMA
SHINTO
Dosen
Pembimbing:
Ibu
Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Intan
Marhumah
1110032100050
PA/B/VI
Hari/Tanggal
: 06 Mei 2013
Waktu : 08.00-09.45 WIB
Ruang : FUF. 313
Pembicara : - Ahmad Khoirul Fatihin
- Muhammad Rosidin
Moderator : Sintia Aulia Rahma
Notulen : Sintia Aulia Rahma
Pembanding : - Muhammad Ikhsan
A. Sejarah dan Perkembangan Agama
Shinto
Shinto adalah kata majemuk daripada
“Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi
“Shinto” mempunyai arti lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah
meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata
“Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan
langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme
yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”.
Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme
dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok. Sedangkan Shintoisme adalah faham
yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai
sekarang.Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional
sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup.Tidak
hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga
pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini[1].
Shintoisme
(agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba jiwa
(animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Latar belakang historis
timbulnya Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang
asal-usul timbulnya negara dan bangsa Jepang.Karena yang menyebabkan timbulnya
faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan
(mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini dapat
digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
Tentang
pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa
dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan
Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan
dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme
Mahayana), hal im berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi.
Setelah
abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto
murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain
dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo” (jalannya Buddha) dengan
“Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan
kelangsungan kepercayaannya. Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868
agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama
Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat
dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik
religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat
kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.
B. Kepercayaan Agama Shinto
Dalam
agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan
pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda baik
yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan
kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit
itu dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka
(penganut Shinto), daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan
“Kami”.
Istilah
“Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”,
sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka
kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan
sebagainya).
Pengikut-pengikut
agama Shinto mempunyai semboyan yang berbunyi “Kami negara – no – mishi”
yang artinya : tetap mencari jalan dewa. Kepercayaan kepada “Kami” daripada
benda-benda dan seseorang, keluarga, suku, raja-raja sampai kepada “Kami” alam
raya menimbulkan kepercayaan kepada dewa-dewa.Orang Jepang (Shinto) mengakui
adanya dewa bumi dan dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah
Dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi kamakmuran dan
kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian.
Tiga
hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu :
1. Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari
gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya
sehingga harus dipuja secara langsung.
2. Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh
manusia yang sudah meninggal.
3.Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang
beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan
manusia.
C. Kitab Suci Agama Shinto
Kitab
suci yang tertua dalam agama Shinto itu ada dua buah, akan tetapi disusun
sepuluh abad setelah meninggalnya Jimmu Tenno sang Kaisar Jepang yang pertama,
dan dua buah lagi disusun pada masa belakangan, keempat kitab itu adalah :
1. Kojiki
2. Nihonji
3. Yengishiki
4. Manyoshiu
Kitab
pertama dan ke dua itu menguraikan
tentang alam kayangan kehidupan para dewa dan dewi sampai kepada Amaterasu Omi
Kami (dewa matahari) dan Tsukiyomi (dewa bulan). Diangkat untuk menguasai
langit dan putranya Jimmu Tenno diangkat untuk menguasai tanah yang subur (bumi
Jepang) lalu disusul dengan sisilah turunan Kaisar Jepang itu beserta riwayat
hidup satu persatuanya.
Dan
kitab 3 dan 4 berisikan tentang kisah-kisah legendaris, nyanyian-nyanyian
kepahlawanan, beserta sajak-sajak tentang asal usul kedewaan, asal usul
kepulauan Jepang dan kerajaan Jepang.Ragam hal-hal kisah yang berkaitan tentang
kehidupan para dewa dan para dewi dalam kayangan dilangit.Catatan peristiwa
pada masa-masa terakhir barulah dilanjutkan dengan kisah sejarah.[2]
D. Peribadatan Agama Shinto
Agama
Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi
terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada
dasarnya adalah baik dan bersih.Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan
kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara
pensucian (Harae).Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang
dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara
pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara
yang lain dalam agama Shinto. Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto
terutama adalah untuk memuja dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan
dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian
(beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas
gunung Fujiyama.[3]
E. Pengaruh
Shintoisme terhadap peribadi
Seorang ahli sejarah Jepang, D.C.
Holten menyatakan bahwa orang-orang Jepang dilahirkan dalam ajaran Shinto,
kesetiaanya terhadap kepercayaan terhadap kepercayaan dan pengalaman ajaranya
adalah menjadi kualifikasi pertama sebagai “ orang Jepang yang baik’. Meskipun
ia memeluk agama universal seperti Budhisme atau Kristen, faham lama Shinto
tetap merupakan pengaruh vital dan luas, yang secara fundametalisme faham lama
tersebut membentuk pula mentalis dan tingkah laku serta memberikan paola dasar
yang menjadi wadah dari segala sesuatu yang lain.
Untuk memperjelas ajaran Shintoisme
ini perlu dikemukakan juga ajarannya tentang kesusilaan yang paling terhormat
yang biasnya dilakukan para bangsawan atau para ksatria-ksatria Jepang sebagai
berikut[4]:
a) Keberanian
dianggap sebagai suatu keutamaan yang pokok dan oleh karena itu keberanian
sudah di didikan pada anak dalam masa-masa permulaan hidupnya, sikap mereka
dalam keberanian dinyatakan dengan semboyan : “ keberanian yang benar untuk
hidup, ialah bilamana hal itu benar untuk hidup, dan untu mati bilamana hal itu
benar untuk mati”
b) Sifat
penakut dikutuk, karena sifat ini dipandang dosa. “ semua dosa besar dan kecil,
dapat diampuni dengan melalui cara taubat, kecuali penakut dan pencuri”
c) Loyalitas,
yaitu setia, kesetiaan pertama kepada Kaisar, kemudian meluas kepada seluruh
anggota keluarga Kaisar, pada masyarakat dan pada generasi yang akan datang.
d) Kesucian
dan kebersihan, adalah suatu hal yang sangat penting dalam Shintoisme. Oleh
karena itu dalam faham ini terdapat upacara-upaca pensucian. Orang tidak suci
adalah berdosa, oleh karena melawan dewa-dewa.
F. Upacara Pemujaan
Upacara
resmi dan bersifat menyeluruh bagi bangsa Jepang di pustakan di kui Ise, yang
terletak pada pesisir tenggara Kyoto, bebas ibukota tua itu, bagi pemujaan
Amaterasu Omi Kami (dewi matahari). Tepatnya berada dikuil Naiku, kuil tua yang
terletak pada bagian dalam dank anon dibangun pada tahun 4 SM, kuil itu sangat
terpandang suci bagi pemujaan Dewi Matahari, sedangkan pada bagian luar
terdapat kuil Geku bagi pemujaan Dewi Makanan, Dewi Ukemochi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar