Sabtu, 25 Mei 2013

AGAMA BAHA'I



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
                  Agama Bahá’í adalah agama yang independen dan bersifat universal, bukan sekte dari agama lain. Agama Baha’i dimulai di Iran pada abad 19. Pendirinya bernama Bahá’u’lláh. Pada awal abad kedua puluh satu, jumlah penganut Bahá’í sekitar enam juta orang yang berdiam di lebih dari dua ratus negeri di seluruh dunia.
                  Dalam ajaran Bahá’í, sejarah keagamaan dipandang sebagai suatu proses pendidikan bagi umat manusia melalui para utusan Tuhan, yang disebut para "Perwujudan Tuhan". Bahá’u’lláh dianggap sebagai Perwujudan Tuhan yang terbaru. Dia mengaku sebagai pendidik Ilahi yang telah dijanjikan bagi semua umat dan yang dinubuatkan dalam agama Kristen, Islam, Buddha, dan agama-agama lainnya. Dia menyatakan bahwa misinya adalah untuk meletakkan pondasi bagi persatuan seluruh dunia, serta memulai suatu zaman perdamaian dan keadilan, yang dipercayai umat Bahá’í pasti akan datang. [1]
                  Mendasari ajaran Bahá’í adalah keesaan Tuhan (walau dengan penyebutan nama Tuhan yg berbeda-beda), kesatuan agama, dan persatuan umat manusia, para utusan Tuhan yg bersumber pada satu sumber yg sama. Pengaruh dari asas-asas hakiki ini dapat dilihat pada semua ajaran kerohanian dan sosial lainnya dalam agama Bahá’í. Misalnya, orang-orang Bahá’í tidak menganggap "persatuan" sebagai suatu tujuan akhir yang hanya akan dicapai setelah banyak masalah lainnya diselesaikan lebih dahulu, tetapi sebaliknya mereka memandang persatuan sebagai langkah pertama untuk memecahkan masalah-masalah itu. Hal ini tampak dalam ajaran sosial Bahá’í yang menganjurkan agar semua masalah masyarakat diselesaikan melalui proses musyawarah. Sebagaimana dinyatakan Bahá’u’lláh: "Begitu kuatnya cahaya persatuan, sehingga dapat menerangi seluruh bumi." Iman Baha'i adalah agama Abrahamik.





1.2. TUJUAN

      Tujuan penulis membuat karya ilmiah yang berjudul Mengenal Lebih Dekat Agama Konghucuadalah :

Ø  Memberikan informasi kepada pembaca mengenai Agama Konghucu yang berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan Agama Konghucu.
Ø  Sebagai pemenuhan terhadap tagihan tugas Ujian Tengah Semester yang dibutuhkan sebagai syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Konfusianisme dan Taoisme.
Ø  Memberikan wawasan yang lebih dalam memahami tentang Agama Konghucu.

1.3. METODE

      Metode yang digunakan penulis dalam mengumpulkan data penulisan karya ilmiah ini adalah metode studi lapangan yang terkait dan data dari internet.

1.4. SISTEMATIKA PENULISAN

      Peulisan makalah ini terdiri dari 3 bab . Bab pertama yaitu pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan, metode, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab kedua yaitu berisi tentang penjelasan materi. Bab terakhir yaitu bab penutup yang berisi Lampira-lampiran dan Daftar Pustaka










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Agama Baha’i
            Pada tahun 1844 Sayyid ‘Alí Muhammad dari Shíráz, Iran, yang lebih dikenal dengan gelarnya Sang Báb (artinya “Pintu” dalam bahasa Arab), mengumumkan bahwa dia adalah pembawa amanat baru dari Tuhan. Dia juga menyatakan bahwa dia datang untuk membuka jalan bagi wahyu yang lebih besar lagi, yang disebutnya “Dia yang akan Tuhan wujudkan”. Antara lain, Sang Báb mengajarkan bahwa banyak tanda dan peristiwa yang ada dalam Kitab-kitab suci harus dimengerti dalam arti kias, bukan arti harfiah. Dia melarang perbudakan, juga melarang perkawinan sementara, yang pada waktu itu merupakan praktek Syiah Iran.
            Agama Báb tumbuh dengan pesat di semua kalangan di Iran, tetapi juga dilawan dengan keras, baik oleh pemerintah maupun para pemimpin agama. Sang Báb dipenjarakan di benteng Máh-Kú di pegunungan Azerbijan, di mana semua penduduk bersuku bangsa Kurdi, yang dikira membenci orang Syiah; tetapi tindakan itu tidak berhasil memadamkan api agamanya, dan mereka pun menjadi sangat ramah terhadap Sang Báb. Kemudian dia dipenjarakan di benteng Chihríq yang lebih terpencil lagi, tetapi itu juga tidak berhasil mengurangi pengaruhnya. Pada tahun 1850 Sang Báb dihukum mati dan dieksekusi di kota Tabríz. Jenazahnya diambil oleh para pengikutnya secara diam-diam, dan akhirnya dibawa dari Iran ke Bukit Karmel diPalestina (sekarang Israel) dan dikuburkan di suatu tempat yang ditentukan oleh Bahá’u’lláh. Makam Sang Báb kini menjadi tempat berziarah yang penting bagi umat Bahá’í.[2]
                        Antara tahun 1848 dan 1852, lebih dari 20.000 penganut agama Báb telah dibunuh, termasuk hampir semua pemimpinnya. Mírzá Husayn ‘Alí yang lebih dikenal dengan gelarnya Bahá’u’lláh (artinya “Kemuliaan Tuhan” dalam bahasa Arab) adalah seorang bangsawan Iran yang menjadi pendukung utama Sang Báb. Pada tahun 1852, ketika Bahá’u’lláh ditahan di penjara bawah tanah Síyáh-Chál (“lubang hitam”) di kota Teheran, dia menerima permulaan dari misi Ilahinya sebagai “Dia yang akan Tuhan wujudkan” sebagaimana telah diramalkan oleh Sang Báb. Bahá’u’lláh menceritakannya sebagai berikut: “Suatu malam dalam mimpi, firman-firman yang luhur ini terdengar dari segenap penjuru: ‘Sesungguhnya, Kami akan memenangkan-Mu melalui Diri-Mu serta pena-Mu. Janganlah Engkau bersedih hati atas apa yang telah menimpa-Mu, dan janganlah takut pula, sebab Engkau ada dalam keadaan selamat. Tak lama lagi, Tuhan akan membangkitkan harta-harta bumi, orang-orang yang akan membantu-Mu melalui Diri-Mu dan melalui Nama-Mu, dengan mana Tuhan telah menghidupkan kembali hati mereka yang mengenal Dia.’”
            Pada tahun 1863, Ia mengumumkan misi-Nya untuk menciptakan kesatuan umat manusia serta mewujudkan keselarasan di antara agama-agama. Dalam perjalanan-Nya di sebagian besar kerajaan Turki, Bahá’u’lláh banyak menulis wahyu yang diterima-Nya dan menjelaskan secara luas tentang keesaan Tuhan, kesatuan agama serta kesatuan umat manusia.
            Walaupun Bahá’u’lláh dijatuhi hukuman karena Ajaran agama-Nya, sebagaimana juga dialami oleh para Rasul dan Nabi Tuhan yang lainnya, namun Bahá’u’lláh terus mengumumkan bahwa umat manusia kini berada pada ambang pintu zaman baru, zaman kedewasaan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, sekarang terbuka kemungkinan bagi setiap orang untuk melihat seluruh bumi dengan semua bangsanya yang beraneka ragam, dalam satu perspektif. Bahá’u’lláh mengajarkan bahwa semua agama berasal dari Tuhan dan mereka saling mengisi serta melengkapi. Semua Rasul dan Nabi mengajarkan keesaan Tuhan dan mewujudkan cinta Tuhan dalam kalbu-kalbu para hamba-Nya. Mereka telah mendidik umat manusia secara berkesinambungan ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi dalam perkembangan jasmani dan rohani. Bahá’u’lláh bersabda bahwa kini saatnya telah tiba bagi setiap bangsa di dunia untuk menjadi anggota dari satu keluarga besar umat manusia. Selanjutnya, Ia juga mengajarkan bahwa saatnya telah tiba untuk mewujudkan kesatuan umat manusia serta mendirikan suatu masyarakat sedunia.[3]
                        Pada tahun 1868, Bahá’u’lláh diasingkan ke kota ‘Akká di Palestina (sekarang Israel), yang pada waktu itu dipakai sebagai penjara oleh kekaisaran Usmani. Pada awalnya, Bahá’u’lláh dipenjarakan di barak di ‘Akká, tetapi dengan berlalunya waktu kondisi hidupnya semakin membaik, walaupun secara resmi dia masih seorang pesakitan. Kitab suci yang mengandung kebanyakan hukum Bahá’í, Kitáb-i-Aqdas (“Kitab Tersuci”), diturunkan di ‘Akká. Pada tahun 1892, Bahá’u’lláh wafat di Bahjí dekat ‘Akká, tempat yang menjadi Qiblat agama Bahá’í.[4] Dalam Surat wasiat-Nya, Bahá’u’lláh menunjuk putra sulung-Nya, ‘Abdu’l-Bahá, sebagai suri teladan Agama Bahá’í, Penafsir yang sah atas Tulisan Suci-Nya, serta pemimpin Agama Bahá’í setelah Bahá’u’lláh wafat.
                        Pada tahun 1911-1913, ‘Abdu’l-Bahá melakukan perjalanan ke Mesir, Eropa, dan Amerika. Dia mengumumkan misi Bahá’u’lláh mengenai perdamaian dan keadilan sosial kepada para umat semua agama, berbagai organisasi pendukung perdamaian, para pengajar di universitas-universitas, para wartawan, pejabat pemerintah, serta khalayak umum lainnya.
                        ‘Abdu’l-Bahá, yang wafat pada tahun 1921, dalam surat wasiatnya menunjuk cucu tertuanya, Shoghi Effendi Rabbani, sebagai Wali Agama Bahá’í dan Penafsir ajaran agama ini. Hingga wafatnya pada tahun 1957, Shoghi Effendi menerjemahkan banyak Tulisan Suci Bahá’u’lláh dan ‘Abdu’l-Bahá ke dalam Bahasa Inggris dan menjelaskan makna dari Tulisan-tulisan suci. Dia juga membantu didirikannya lembaga-lembaga masyarakat Bahá’í yang berdasarkan pada ajaran Bahá’í di seluruh penjuru dunia. ‘Abdu’l-Bahá dan Shoghi Effendi dengan setia telah menuntun Agama Bahá’í sesuai dengan ajaran-ajaran Bahá’u’lláh. Tidak ada sekte atau pun aliran di dalam Agama Bahá’í.[5]

B.     Ajaran-Ajaran Agama Baha’i
1.      Tuhan
        Bahá’u’lláh mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan Yang Maha Agung, yakni Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengirim para Rasul dan Nabi untuk membimbing manusia. Oleh karena itu, semua agama yang bersumber dari satu Tuhan ini, haruslah menunjukkan rasa saling menghormati, mencintai, dan niat baik antara satu dengan yang lain.
“Tiada keraguan apa pun bahwa semua manusia di dunia, dari bangsa atau agama apapun, memperoleh ilham mereka dari satu Sumber surgawi, dan merupakan hamba dari Satu
Tuhan.” — Bahá’u’lláh
“Katakanlah: Wahai engkau para kekasih Tuhan Yang Maha Esa! Berupayalah agar engkau sungguh-sungguh mengenal dan mengetahui Dia dan menjalankan perintah-perintah-Nya dengan benar.” — Bahá’u’lláh
“Tujuan Tuhan Yang Maha Esa —diluhurkanlah kemuliaan-Nya— dalam menyatakan diri-Nya kepada manusia adalah untuk memunculkan permata-permata yang tersembunyi dalam tambang diri sejati dan inti manusia. Pada Hari ini, hakikat Keyakinan dan Agama Tuhan adalah agar bermacam-macam umat beragama di bumi, dan berbagai sistem kepercayaan keagamaan, tidak dibiarkan memupuk rasa permusuhan di antara umat manusia. Asas-asas dan hukum-hukum semua agama, sistem-sistem-Nya yang teguh dan agung, berasal dari satu Sumber dan merupakan sinar-sinar dari satu Cahaya” — Bahá’u’lláh
                  Umat Bahá’í percaya bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta alam semesta dan Dia bersifat tidak terbatas, tak terhingga dan Maha Kuasa. Tuhan tidak dapat dipahami, dan manusia tidak bisa sepenuhnya memahami realitas Keilahian-Nya. Oleh karena itu, Tuhan telah memilih untuk membuat Diri-Nya dikenal manusia melalui para Rasul dan Nabi, seperti Ibrahim, Musa, Krishna, Zoroaster, Budha, Isa, Muhammad, dan Bahá’u’lláh. Para Rasul dan Nabi yang suci itu bagaikan cermin yang memantulkan sifat-sifat dan kesempurnaan Tuhan. Mereka merupakan saluran suci untuk menyalurkan kehendak Tuhan bagi umat manusia melalui Wahyu Ilahi, yang terdapat dalam Kitab-kitab Suci berbagai agama di dunia. Wahyu Ilahi adalah “Sabda Tuhan” yang dapat membuka potensi rohani setiap individu serta membantu umat manusia berkembang terus-menerus menuju potensinya yang tertinggi.[6]
2.      Agama
      Menurut Bahá’u’lláh: "Agama merupakan sarana terbesar untuk menciptakan tata tertib di dunia dan kebahagiaan yang sentosa bagi semua yang berdiam di dalamnya.” Mengenai kemunduran atau penyelewengan agama, dia menulis: "Jika lampu agama meredup, maka keributan dan kekacauan akan terjadi, cahaya-cahaya kejujuran, keadilan, ketenangan dan kedamaian, akan berhenti bersinar.” Jadi, peran agama dinilai sangat penting. Sebagaimana telah ditulis oleh Bahá’u’lláh: “Agama Tuhan adalah untuk kasih dan persatuan; janganlah membuatnya penyebab kebencian dan perselisihan.”
      Dalam pandangan Bahá’í, agama memiliki dua aspek, yaitu aspek hakiki dan aspek sementara. Aspek hakiki adalah ajaran-ajaran kerohanian yang tidak berubah, sedangkan aspek sementara adalah peraturan-peraturan yang diberikan sesuai dengan keperluan zamannya. Tulisan Bahá’í mengumpamakan para Perwujudan Tuhan dengan seorang dokter, yang tugasnya adalah “menyembuhkan umat manusia yang terpecah-belah dari penyakitnya.” Obat yang diberikan pada suatu zaman tidak akan sama dengan obat yang diberikan pada zaman berikutnya. Oleh karena itu, agama-agama besar di dunia tampaknya berbeda-beda. Tapi sebenarnya, menurut ajaran Bahá’í, semua agama itu tunggal dan berasal dari Sumber yang sama.
      Menurut ajaran Bahá’í, agama Tuhan sesuai dengan ilmu pengetahuan. Kepercayaan yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan bukanlah iman tetapi ketakhayulan belaka.[7]
3.      Manusia
      Umat Bahá’í percaya bahwa tujuan agama adalah mewujudkan persatuan dan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia. Saling menghormati dan mencintai serta kerja sama di antara pemeluk agama yang berbeda akan membantu terwujudnya masyarakat yang damai. Karena itu, umat Bahá’í aktif berperan di berbagai usaha serta proyek-proyek yang memajukan persatuan agama dan yang meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap agama-agama lain. Umat Bahá’í menghormati keanekaragaman dalam melakukan ibadah keagamaan.[8]
      Dalam kata-kata Bahá’u’lláh: “Kemah kesatuan telah ditegakkan; janganlah engkau memandang satu sama lain sebagai orang asing. Engkau adalah buah-buah dari satu pohon dan daun-daun dari satu dahan.” “Bumi hanyalah satu tanah air dan umat manusia warganya.”
      Pada tingkat global, Bahá’u’lláh telah memberikan beberapa ajaran berkaitan dengan masalah perdamaian internasional. Dia menyeru kepada para pemimpin dunia agar mengadakan suatu pertemuan akbar yang akan melahirkan dasar dari hukum internasional yang dapat menyelesaikan masalah-masalah antarnegara. Dia menganjurkan prinsip keamanan kolektif pada skala sedunia: “Saatnya pasti tiba, tatkala semua orang menyadari kebutuhan yang sangat penting untuk mengadakan pertemuan besar yang mencakup seluruh umat manusia. Para penguasa dan raja-raja di dunia harus menghadirinya, dan mereka—dengan berpartisipasi dalam musyawarahnya—harus mempertimbangkan cara-cara dan sarana-sarana untuk meletakkan dasar Perdamaian Agung sedunia di antara sesama manusia. Perdamaian semacam itu menuntut agar negara-negara yang paling besar dan berkuasa bertekad untuk mewujudkan kerukunan sepenuhnya di antara mereka sendiri demi ketenteraman semua bangsa di dunia. Seandainya ada seorang raja mengangkat senjata melawan raja yang lain, maka semua harus bangkit dan mencegahnya bersama-sama. Jika hal ini dilakukan, negara-negara di dunia tak akan lagi memerlukan persenjataan, kecuali untuk tujuan menjaga keamanan dan memelihara ketertiban dalam negeri di wilayah mereka masing-masing.”
      Agama Bahá’í mengajarkan persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria. Tulisan Bahá’í menyatakan: “Dunia kemanusiaan memiliki dua sayap—yang satu kaum wanita dan yang satu lagi kaum pria. Burung itu tidak dapat terbang sebelum kedua sayapnya itu berkembang ke tingkat yang sama.” Kemajuan kaum wanita juga dianggap sebagai prasyarat bagi tercapainya perdamaian dunia.
      Salah satu ajaran yang diberi tekanan khusus dalam agama Bahá’í adalah pendidikan. Bahá’u’lláh berkata: “Anggaplah manusia sebagai tambang yang kaya dengan permata-permata yang tak ternilai harganya. Hanya pendidikanlah yang dapat menampakkan kekayaannya itu dan memungkinkan umat manusia mendapatkan keuntungan darinya.” Pendidikan universal adalah asas Bahá’í dan semua keluarga Bahá’í dianjurkan untuk mendidik anak-anaknya. Dan apabila dalam suatu keluarga dana tidak tersedia untuk mendidik semua anak, maka diusulkan agar prioritas diberikan kepada anak perempuan, karena anak perempuanlah yang kelak akan menjadi ibu, dan ibu adalah pendidik pertama dari generasi baru.[9]
4.      Sifat Roh dan Kehidupan Sesudah Mati
      Umat Bahá’í percaya tentang adanya roh yang kekal yang ada pada setiap manusia walaupun kita tidak sepenuhnya mampu memahami sifat roh itu. Bahá’u’lláh bersabda:
“Engkau telah menanyakan kepada-Ku mengenai hakikat roh. Ketahuilah bahwa sesungguhnya roh adalah sebuah tanda Tuhan, sebuah permata surgawi yang kenyataannya telah gagal dipahami oleh orang-orang yang paling terpelajar, dan tidak ada akal, betapa pun tajamnya, yang dapat berharap untuk membuka rahasianya.”
     
      Dalam kehidupan yang fana ini, roh seseorang tumbuh dan berkembang sesuai dengan hubungan rohaninya dengan Tuhan. Hubungan ini dapat dipelihara dengan jalan mengenal Tuhan dan ajaran-ajaran-Nya yang diwahyukan oleh para Rasul dan Nabi-Nya, seperti cinta pada Tuhan, doa, meditasi, puasa, disiplin moral, kebajikan-kebajikan Ilahi, menjalankan hukum-hukum agama, dan pengabdian kepada umat manusia. Semua itu memungkinkan manusia untuk mengembangkan sifat-sifat rohaninya, yang merupakan pondasi bagi kebahagiaan manusia serta kemajuan sosial, dan juga untuk menyiapkan rohnya untuk kehidupan sesudah mati.
      Agama Bahá’í mengajarkan bahwa realitas rohani setiap manusia, yaitu roh, adalah abadi. Pada saat kematian, roh manusia akan melanjutkan perjalanannya dalam alam rohani. Orang-orang yang telah menaati ajaran-ajaran para Rasul dan telah mengembangkan kapasitas rohani mereka, kelak sesudah mati, akan mendapatkan keuntungan atas perbuatan-perbuatan mereka. Baha’ullah bersabda:[10]
“Ketahuilah olehmu bahwa roh, setelah berpisah dari tubuhnya, akan terus maju hingga mencapai hadirat Tuhan ... Roh itu akan ada selama berlangsungnya kerajaan Tuhan, kedaulatan-Nya, kekuasaan dan kekuatan-Nya. Ia akan memperlihatkan tanda-tanda Tuhan dan sifat-sifat-Nya, dan akan mewujudkan kasih sayang dan kedermawanan-Nya. Gerakan pena-Ku terhenti tatkala ia berupaya untuk menggambarkan dengan patut keluhuran dan kemuliaan kedudukan yang maha tinggi itu… Diberkatilah roh yang pada saat berpisah dari tubuhnya, disucikan dari segala khayalan sia-sia semua kaum di dunia. Roh semacam itu hidup dan bergerak sesuai dengan Kehendak Penciptanya, dan memasuki Surga Yang Maha Tinggi. Bidadari-bidadari Firdaus, para Penghuni Surga Terluhur, akan berkeliling di sekitarnya, dan Nabi-nabi Tuhan serta orang-orang pilihan-Nya, akan bergaul dengannya. Roh itu akan dengan bebas bercakap-cakap dengan mereka, dan akan menceritakan kepada mereka apa yang telah dialaminya di jalan Tuhan, Tuhan sekalian alam … Para Nabi dan Rasul Tuhan telah diutus hanya dengan tujuan membimbing umat manusia ke jalan lurus kebenaran. Maksud yang mendasari wahyu semua Nabi dan Rasul itu adalah untuk mendidik semua manusia, agar pada saat kematiannya manusia dapat naik dalam keadaan yang paling suci dan murni serta lepas dari segala-galanya, ke hadapan takhta Yang Maha Tinggi ... ”
“Alam baka berbeda dengan alam in,i seperti halnya alam ini berbeda dengan alam janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Ketika roh mencapai Hadirat Tuhan, ia akan mendapatkan wujud yang paling cocok dengan keabadiannya dan yang pantas bagi kediaman surgawinya.”



BAB III
PENUTUP

v  LAMPIRAN-LAMPIRAN
1.      Makam Sang Bab di Haifa, Israel


2.      Rumah Ibadah Baha’i di New Delhi, India





3.      Rumah Ibadah Baha’i di Jerman





















DAFTAR PUSTAKA
Ø  Situs Resmi Agama Baha’i, PDF. Informasi Agama Baha’i, http://bahaiindonesia.org/, 21 Apr. 13

2 komentar:

  1. bagus sekali tulisannya y mbak,
    mahasiswa perbandingan agama y mbak?
    salam kenal ymbak bebagi informasi dan ilmu

    BalasHapus
    Balasan
    1. siip nih....
      saya penganut bahai'i di kalimantan barat

      Hapus